Sabtu, 08 Oktober 2011

Lingkunganku, Harga diriku



                                                                                                    Oleh   : Andi Priatno

Ketika saya memandang kehidupan dimasa sekarang, manusia bergelut dengan kehidupannya masing-masing, petani desa menanam padi dengan pola tanam sederhana, dengan benih tidak berkualitas, pengairan seadanya, mengandalkan musim yang tidak menentu berakibat pada hasil panen yang biasa-biasa saja. Saudagar hasil bumi menjual hasil tani dengan daya beli murah, memonopolinya, menimbunnya kemudian menjual hasil dagangan pada saat nilai jual tanaman melejit tinggi, tanpa memeperhatikan sebulan yang lalu ketika rakyat berteriak dan menangis karena kehabisan beras.
Pengusaha tepung beras memproduksi hasil bumi untuk dijadikan tepung dengan membuang limbah produksinya di sungai, berakibat menumpuknya sampah, bau yang menyengat dan mencamari sungai, ikan-ikan mati, zat hara terkontaminasi, tumbuh-tumbuhan disungai layu, ketika kemarau tiba terjadilah banjir dan longsor. Pemerintah terkaget dengan kondisi seperti itu karena sebelumnya tidak memperhatikan pengawasan dan perencanaan yang tepat, karena peraturan tentang etika pengusaha terhadap lingkungan belum dibuat, atau sudah ada namun kepastian nya belum disosialisasikan atau pengusaha lalai dan mengelakannya, ada unsur lain yang menyebabkan tidak berjalannya aturan lingkungan tersebut. Lantas kenapa dengan parlemen, parlemen sibuk  dengan tata peraturan yang lain, alasannya ada pihak LIPI yang menanganinya, dari LIPI berkata Lingkungan yang terjadi sekarang terjadi dari banyak faktor, yang dianalisis hanya beberapa bagian.  Kenapa pengusaha hanya berorientasi pada keuntungan dan materi tanpa memperhatikan dampak lingkungan atas hasil produksinya, apakah mereka hidup untuk dirinya sendiri, taksadarkah bahwa lingkungan punya ambil bagian terhadap keseimbangan yang ada.
Siang hari ketika keluar dari rumah, terasa panas menyengat, debu bertebaran bersama gas kendaraan berwarna kecoklatan, pohon-pohon tidak tertata rapi, bahkan sudah berubah menjadi rumput-rumput liar tak tertata, pohon-pohon itu sudah menjadi barang mebel yang dijual di toko. Aku teringat berita tadi pagi, tentang terjadinya epek rumah kaca dan pemanasan global, masih lama kah, kasihan sekali kelak anak cucuku dengan kondisi itu.
Siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang terjadi, masyarakatkah yang tidak memahami pola hidup sehat, pengusahakah yang terlalu berorientasi materi tanpa memperhatikan lingkungan, parlemenkah yang belum efisien membuat peraturan tentang itu, atau pemerintah yang kurang tegas menjalankan aturan yang ada, atau saya sendiri yang terlalu kritis memperdulikan lingkungan?
Kapan manusia mau bertanggung jawab terhadap tiga hal, yaitu Tuhan, sesama manusia dan linkungannya? Mungkin pendidikan kita masih jauh dari berhasil, percuma ada buku pendidikan lingkungan hidup ketika manusia tidak mau membacanya, dan hanya melemparnya ke tong sampah.